SELAMAT DATANG di www.tanahrantau.blogspot.com....ENJOY WITH REUNI X SMADA 99 - 9 SEPTEMBER 2009 - DATANG KI.. BROOO..

Rabu, 18 Februari 2009

Meningkatkan Representasi Perempuan di Parlemen

Menghapus diskriminasi gender
Banyak kalangan yang menilai, keterbelakangan perempuan mencapai hak politiknya, karena dunia politik umumnya di dominasi oleh kaum laki-laki, selain itu, adanya pandangan yang menganggap bahwa politik itu kotor, menghalalkan segala cara, penuh dengan kamuflase, ketidakadilan dalam strata sosial, atau menganggap sesuatu yang sangat wajar ketika merampas hak asasi manusia.

Terlebih lagi, ketika perempuan melihat dinamika partai politik, perasaan cemas bahkan takut terhadap kejadian kasar dan keras, dengan melihat cara yang digunakan untuk mencapai kekuasaan dan menguasai masyarakat tanpa ada rasa kemanusiaan, bahkan menggunakan kekuatan fisik untuk mencapai kekuasaan.

Peranan perempuan diwilayah politik, memang terbilang minim, sebab interpretasi demikian-lah yang membawa mereka untuk tidak melibatkan diri kedalam dunia politik atau organisasi politik, selain itu beban ganda juga turut membawa ketidakseimbangan pembagian kerja terhadap perempuan, yang perhatian utamanya adalah kelangsungan hidup dan tidak mempunyai pilihan kecuali untuk lebih banyak meluangkan waktunya berusaha memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

Padahal sangat disadari, setengah dari jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan, yang merupakan bagian dari politik, memiliki persamaan hak dengan kaum laki-laki. Perempuan memiliki Power Realtion, melebihi potensi kaum lelaki. Dalam deklarasi Mexico, 1975 disebutkan bahwa kelebihan yang di miliki kaum perempuan adalah, memilki jiwa sosial yang tinggi, sikap toleransi, mampu membangkitkan solidaritas kelompok, berjiwa interpeneur, perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan mampu merajut persatuan dan kesatuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Namun pada kenyataannya keikutsertaan berpartisipasi dalam dunia politik hanya dijadikan sebagai pelengkap, pemberi suara mayoritas sunyi, tanpa dilibatkan ambil bagian dalam menentukan kebijakan.

Perempuan bagian dari masyarakat dan sangat jelas segala kejadian dalam kehidupan bermasyarakat adalah hasil keputusan politik, dimana politik sering dikaitkan dengan Negara dan masyarakat sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan bagi setiap individu adalah kodrat, sejak lahir ditanamkan sebagai sifat dasar manusia, yang senantiasa disertai dengan hasrat pemenuhan kebutuhan, jika sesorang berkuasa, apapun yang dibutuhkan tidak kekurangan.

Mencapai keinginan besar untuk memperoleh kekuasaan, manusia terdorong berpolitik demi kemakmuran pribadi atau golongan, yang terkadang tidak memperdulikan dampak terhadap orang lain. Dan yang menikmati hanya golongan elit, dan bukan rakyat biasa termasuk kaum perempuan.

Dalam atmosphere politik, peran dan posisi kaum perempuan ter-marginal-kan, seakan politik hanya urusan laki-laki, yang mengurus sektor publik, sementara kaum perempuan di sektor domestik, yang tidak berhubungan dengan sektor publik, Penyebabnya adalah perempuan dikonstruksikan dari tingkat pendidikan rendah, terutama tingkat ekonomi. Padahal keputusan politik mempengaruhi segala aspek kehidupan sampai pada hal-hal yang terkecil, juga pada persoalan yang tersembunyi mengenai kaum perempuan, maka peran serta kaum perempuan dalam pengambilan kebijakan sangat dibutuhkan.

Akibat dari marjinalisasi perempuan di sektor politik dan jauh dari keterlibatan pengambilan keputusan, maka tercipta-lah suatu kesadaran baru, gerakan baru dan ideology baru, yakni feminisme, yang pertama kali ‘meledak’ pada zaman revolusi perancis, paham ini mereka jadikan sebagai ‘pisau’ untuk mengendalikan dan tidak di kendalikan oleh kaum laki-laki, di Indonesia lebih dikenal dengan emansipasi wanita yang dicetuskan RA.Kartini.

Lahirnya emansipasi wanita, mengantarkan Indonesia pada wacana kesetaraan dan keadilan gender, bahkan telah di buatkan produk hukum sebagai payung dalam menyetarakan hak perempuan dan laki-laki. Hal ini memberikan dampak positif terhadap pembangunan berskala nasional di berbagai sektor kehidupan, antara lain terbukanya ruang aktualiasasi terhadap kaum perempuan untuk menggali potensi diri dilingkungan sosial, selain dilingkungan kerja, juga di partai politik, perempuan memperlihatkan ‘taring’nya hingga menduduki posisi-posisi strategis di berbagai sektor pembangunan.

Untuk lebih meningkatkan kualitas hidup, perempuan menyatukan tekad, satu persepsi bahwa di dunia politik, kaum perempuan harus ada yang terwakilkan di parlemen, sebagai pengambil kebijakan di tingkat elit, dengan memperhatikan aspirasi dari akar rumput – Buttom Up.

Namun keterwakilan perempuan menuju ke tingkat parlemen sering menemukan berbagai kendala, terutama dilingkungan politik yang sering tidak bersahabat, bahkan sering mendapatkan permusuhan, dimana komposisi sering di kaburkan dan menempatkan perempuan di tingkat paling bawah.

Masalahnya adalah tingginya kebijakan partai terhadap kaum laki-laki dalam pengumpulan suara, kemudian melihat dari kondisi ekonomi, kemampuan dan tingkat pendidikan perempuan menuju parlemen masih sangat kurang. Pendidikan menjadi sebuah prasyarat utama ketika perempuan berkeinginan duduk di parlemen, jika tidak, maka sangat dikhawatirkan ketika dalam pengambilan kebijakan melalui sidang-sidang di parlemen, perempuan hanya sekedar, duduk, dan diam, sehingga berpotensi image negative terhadap partai politik yang diwakilinya.

Oleh karena itu, ketika perempuan berkeinginan untuk dicalonkan duduk di parlemen, mempertegas sikap serta kemampuan dalam hal financial, dan mengasah intelektualitas, untuk dapat memberikan masukan yang berasal dari konstituen, dan di sampaikan dalam lingkungan parlemen.(to be oountinue)