SELAMAT DATANG di www.tanahrantau.blogspot.com....ENJOY WITH REUNI X SMADA 99 - 9 SEPTEMBER 2009 - DATANG KI.. BROOO..

Senin, 16 Februari 2009

Antara Perempuan dan di 'Perempuankan'


Menjadi perempuan dan diperempuankan jelas adalah dua pilihan yang berbeda. Perempuan adalah sebuah identitas. Perempuan berarti berarti memilih identitas diri dan sosial sesuai keinginan, bukan karena tawaran yang ada. Didalamnya ada proses rasional dalam pertimbangnnya, dan karenanya ada pula proses mengeksistensikan pilihan tersebut. Singkatnya, menjadi perempuan adalah pilihan identitas yang dilakukan secara bebas, rasional dan eksis dari seorang makhluk hidup sehingga identitas keperempuanannya menjadi suatu kebanggaan dan jati diri dalam menjalankan peran sosialnya.

Sementara diperempuankan, adalah suatu proses dimana seorang mahkluk hidup yang digiring dalam tawaran-tawaran yang ada secara given atau nrimo dan pasrah. Dengan kata lain proses ini adalah sebuah proses penempatan diri sosial bagi jenis kelamin perempuan untuk berkesistensi sesuai dengan tawaran keperempuanan secara sosial yang diatur oleh prisnip tardisi dan keyakinan sosial yang ditetapkan.

Kedua proses ini pun melibatkan pendefenisian diri yang juga berbeda. Menjadi perempuan adalah proses pendefinisian diri yang dilakukan scara subtil dari dalam dan mereupakan ‘kehendak bebas’ makhluk tersebut. Sebaliknya diperempuankan adalah diri yang didefenisikan menjadi perempuan oleh banyak kekuatan eksternal yang memaksa, misalnya oleh ideologi agama, dan atau oleh norma, nilai sosial dan tradisi. Ini jelas bertentangan dengan esensi bahwa manusia adalah mahkluk yang ‘berkehendak bebas’.

Inilah faktanya, bahwa lebih banyak perempuan yang diperempuankan daripada menjadi perempuan. Terutama dalam kebudayaan patriarkis yang masih kental dan memborbardir sosok perempuan dengan berbagai citra ideal dalam keluarga masyarakat dan negara. Bukan hanya dibombardir oleh oleh citra ideal, bahkan ‘harga’ perempuan yang diukur dari keberhasilannya melahirkan anak-anak yang ‘jadi orang’ atau mendapatkan suami yang mapan secara ekonomi maupun strata sosial.

Coba kita lihat pada fenomena ketika banyak perempuan melakukan operasi vaigin (vaginoplasti) dan operasi selapu dara (hymnoplasti). Banyak yang berkomentar bahwa perempuan melakukannya karena mereka tidak percaya diri akan apa yang mereka miliki. Seharusnya, orang berpikir mengapa mereka melakukannya? Padahal tindakan tersebut menyakitkan diri sendiri secara fisik dan psikis, dan pasti menyulitkan secara ekonomi.

Mengapa ada perempuan yang mau melakukannya? Ini contoh paling mudah untuk melihat proses diperempuan. Seorang jenis kelamin perempuan dibebankan tuntutan seksualitas berdasar jenis kelamin, dimana untuk jenis kelamin perempuan, seksualitas berarti reproduksi dan prokreasi, yaitu untuk menghasilkan keturunan untuk keberlanjutan keluarga dan menjadikan lelaki sebagai ayah. Sedangkan untuk laki-laki, seksualitas adalah rekreasi, yaitu dalam rangka memenuhi hajat biologisnya secara nikmat. Tuntutan seksualitas yang berbeda anatara laki-laki dan perempuan, dibebankan sepenuhnya pada perempuan, yaitu ia tidak boleh mandul karnea harus menjadikan suami sebagai ayah, dan juga sekaligus mampu memenuhi tuntutan kenikmatan yang dibutuhkan oleh suami, karena seksualitas bagi laki-laki adalah rekreasi. Jadi, jika perempuan melakukan opereasi vaigin ataupun selaput dara, bukan karena tuntutan pribadinya. Tetapi dalam rangka memenuhi tuntutan berat atas nilai seksualitasnya, yaitu bagaimana ia juga mampu memenuhi kebutuhan kenikmatan seksual suami, sekalipun sudah melahirkan anak berkali-kali. Proses pembebanan nilai seksualitas secara ganda atas diri jenis kelamin perempuan adalah bagian dari proses diperempuankan. Jika nilai seksualitas ganda tersebut tidak terpenuhi, maka ia dinilai gagal sebagai perempuan.

Jadi janganlah heran jika perempuan seingkali teralienasi, atau mengalami keterasingan atas tubuh dan seksualitasnya sendiri. Misalnya, ketika tiba-tiba ia benci melihat bentuk tubuh sendiri dan melakukan sesautu hanya sekedar untuk indah dilihat oleh orang lain, atau suami. Ini menandakan bahwa perempuan perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuhnya sendiri. Nawal El- Saadawi, seorang aktivis perempuan dari mesir, menggambarkan dengan jeli kondisi ini dalam terjemahan novelnya berjudul Perempuan di titik nol. Menurutnya, perempuan telah kehilangan kontrol atas tubuh dan seksualitasnya, karena nilai tubuh dan seksualitas perempuan dibentuk oleh budaya patriarakis dan produk industri yang ada di pasaran.

Perempuan harus diakui bahwa satu dan lain hal masih berada pada posisi yang selalu menjadi pihak yang dimiliki (property). Sewaktu muda ia menjadi milik ayah dan keluarganya, sehingga dituntut untuk bisa menjaga citra keluarga dengan menjadi anak yang manis dan menjadi kebanggan keluarga serta tidak menimbulkan aib yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Setelah berkeluarga ia menjadi milik suaminya, sehingga harus mampu memenuhi kebutuhan sang pemilik baik secara fisik, psikis dan sosial. Inilah yang menurut pemikiran Simone de Beauvoir bahwa perempuan itu hidup dalam dunia yang bukan miliknya, karena perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dilahirkan untuk diperempuankan.

Pertanyaan kritis yang kita harus ajukan bagaimanakah bentuk kesadaran perempuan melakoni semua persoalan tersebut? Ada kecenderungan besar bahwa keikhlasan dan kesabaran yang sering dilakukan oleh perempuan tersebut dilandasi oleh kesadaran-magis. Menurut Paolo Freire kesadaran magis adalah kesadaran yang melepaskan fakta pada kekuatan lain yang tidak bisa terkendali. Misalnya, pada unsur nasib, takdir dan kehendak Tuhan.

Berpikir demikian, akan membuat orang selalu menerima suatu kenyataan yang menekan dirinya, dan mencari kebaikan atas kenyataan tersebut. Perilaku berdasar kesadaran magis hampir sama dengan kesadaran palsu (false-conciuousness), yang sangat dekat dengan sikap pasrah dan enggan untuk melakukan perlawanan dan perubahan. Dalam istilah sosilogi disebut desublimasi represif, yaitu sebuah kondisi dimana orang yang tertindas tidak menyadari, bahkan cenderung menikmati ketertindasan yang menimpanya. Jangan-jangan, atau besar kemungkinan bahwa kesadaran magis yang seringkali hadir pada perempuan ada karena kesadaran dirinya sebagai perempuan yang harus memenuhi kriteria ideal yang ditetapkan secara kultural dan sosial.

Jadi, diperempuankan adalah proses penekanan dan cenderung mengekploitasi atas jenis kelamin perempuan untuk tunduk pada realitas yang seringkali merugikan jenis kelamin perempuan. Jika demikian faktanya, maka yang harus digugah adalah mengganti proses diperempuankan dengan cara menjadi perempuan dalam pilihan yang sebenarnya. Bagaimana caranya? membangkitkan kemampuan jenis kelaimin perempuan untuk tidak kompromi pada realitas yang dipaksakan..

Kesimpulan yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah proses diperempuankan adalah identik dengan proses “penghacuran kreatif”. Penghancuran kreatif adalah istilah dari Francis Fukuyama untuk menggambarkan situasi disorder, kekacauan atau guncangan yang menjadi terbiasakan, sehingga terjadi penyesuaian-penyesuaian atas guncangan tersebut. Kelompok perempuan seharusnya mampu menjadi agent of change, apalagi jika memilki kapasitas dan kompetensi yang tinggi. Tetapi, jika mereka berada dalam situasi kekerasan dalam rumah tangga dan penindasan di sektor publik tentu akan berdampak dimana kreatifitas dan energi mereka tak termanfaatkan secara maksimal. Terutama bila tidak ada perlawanan terhadap relaitas yang mereka hadapai demi menjaga status ke-perempuanan-nya.

Lantas bagaimana seharusnya perempuan? Tidak ada alternatif lain bahwa menjadi perempuan adalah bukan kerena sekedar kodrat mengikuti jenis kelamin. Tetapi perempuan adalah pilihan identitas yang dilakuakn secara sadar. Jauh dari kesadaran semu dan kesadaran sombolik kultural lainnya yang memaksa jenis kelamin perempuan untuk ikut dalam aturan main yang merugikan dan memarginalisasi.

Proses menjadi perempuan harusnya merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang dengan kelekatan yang sadar akan kelompoknya, baik secara emosional dan rasional. Dalam prosesnya menjadi perempuan, seorang jenis kelamin perempuan harus mampu memperoleh identitas sosial yang positif, yaitu dengan membesarkan kualitas diri yang pada akhirnya mengangkat hirarki identitas kaum perempuan secara umum.

Mengenal Diri sebelum Kenal Dunia Rantau


Mengenal tapal batas, jangan sekedar memahami mudahnya sesorang mencari pekerjaan kasar atau pesuruh, pahamilah orang-orang yang mempekerjakan dan orang-orang yang menyuruh.

Karena pekerjaan kasar mudah di kibuli dari yang mempekerjakan, sementara pekerjaan pesuruh mudah dipermainkan dan di bodoh-i dari orang yang menyuruh.
Merantau salah satu jalan, ketika sesorang ingin merubah nasib, bekerja keras, banting tulang merupakan kunci sukses di kala sesorang di negeri rantau, bukan sebagai benalu, yang kerjanya minta melulu, dengan mencari-cari alasan yang sifatnya menghiba menggantungkan hidup dengan orang lain, tampil dengan wajah kusut dan susah, bak kaum-kaum dhuafa sehingga majikan merasa kasihan dan mengasihani untuk memberikan bantuan.

Majikan, tak sekedar memberi bantuan, tetapi dibalik bantuan itu, ada sejumlah kepentingan terhadap orang yang di Bantu, minimal ia sebagai mesin yang bisa bekerja 24 jam, jika tidak melayani majikan, maka majikan tak segan-segan menghilangkan rasa kasihan terhadap orang yang dibantu itu, sehingga orang-orang yang telah di Bantu, sekali ingkar kepada majikan, maka satu-satunya cara agar rasa kasihan majikan itu kembali kepada sang peminta-peminta ini adalah dengan menjilat-jilat kaki majikannya ibarat ‘anjing’ menunggu tulang.

Sungguh naïf jika dalam perantauan sesorang menggantungkan hidupnya kepada orang lain, sementara ada segudang pengetahuan yang dimiliki tidak mereka manfaatkan, wajar kalau dedi mizwar mengatakan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa peminta-minta dimata dunia.

Dalam agama juga menjelaskan, nasib suatu kaum tidak akan berubah jika bukan dia sendiri yang merubahnya. Bukan orang lain, gunakan akal pikiran untuk merubah nasib. Jangan gunakan muka kasihan, dimata majikan, rasa kasihannya itu adalah fiktif belaka.

Keunikan prilaku orang-orang di perantauan juga terpampang jelas di depan mata dan harus dipahami, banyak orang ketika dalam suatu komunitas mudah untuk mencari jalan dekat dengan sang pemimpin, caranya mereka melakukan penjatuhan dan pembunuhan karakter kepada seorang dalam kolompoknya, menceritakan segala kejelekan, keburukan teman, bahkan sering mengutip ide-ide teman kelompoknya kemudian mengakuinya sebagai idenya sendiri di depan sang pemimpin, walaupun ide itu hanya sepeleh, bagi dia adalah dijadikan sebagai alat untuk mengutarakan pendekatannya dan cari muka kepada pemimpin di komunitasnya, meskipun teman sekelompoknya menganggap bahwa tingkahlakunya itu bermuka tebal. Tanpa peduli dengan pemahaman orang lain, yang penting asap di dapur rumah mengepul dan lambung tengah tidak kosong.